Memegang teguh kehormatan leluhur, setia kawan,
jujur dan tenggang rasa. Kebersatuan mereka terhadap alam sekitar adalah
hasil dari kepercayaan terhadap dunia magis.
Siapapun tak bisa menyangkal kemampuan batin manusia Dayak sangat
kuat. Ini adalah hasil dari keakraban manusia Dayak dengan dirinya
sendiri dan lingkungannya dan diolah dengan laku perbuatan yang nyata:
membela harkat dan martabat kemanusiaan serta alam sekitarnya dengan
cara diam dan simbolik.
Salah satu ketua adat dari Etnis Dayak pedalaman menceriterakan
bagaimana dia mendapatkan ilmu kesaktian sehingga dia memiliki sejumlah
kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Salah satu pesan
penting dan begitu mendalam adalah apa yang biasa didengar oleh para
spiritualis di Jawa yaitu etos yang disebut mesu budi, — dari Serat
Wedatama. Yaitu bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu
pada kemegahan dunia. Bahwa NILAI SESEMANUSIA TIDAK PERNAH DILIHAT DARI
HARTA YANG DIA MILIKI, TETAPI DARI APA YANG TELAH DIA PERBUAT UNTUK
MANUSIA DAN ALAM SEKITARNYA.
“Di zaman yang semakin bobrok seperti sekarang ini, seharusnya jangan
hanya mengejar dunia. Lihat saja semua tokoh besar yang meninggal,
tidak terkenal karena kendaraan mewah yang dia miliki, rumah yang dia
punya, tetapi karena karya yang telah dia buat selama hidupnya,”
katanya.
Salah satu adat yang diyakini manusia Dayak adalah menganggap tabu
untuk menebang pohon di sekitar daerah itu, sehingga timbul berbagai
istilah hutan adat atau hutan keramat yang dikenal sejak zaman nenek
moyang mereka. Sayangnya, masih banyak oknum-oknum yang secara membabi
buta melakukan penebangan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa
memikirkan akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.
Tidak sedikit dari wilayah hutan yang diklaim masyarakat Dayak
setempat sebagai hutan adat, dijadikan areal penebangan hutan secara
liar. Lagi-lagi sangat disayangkan, masyarakat Dayak setempat harus
gigit jari terhadap para penebang yang sebenarnya telah melakukan
pantangan adat dan pantas menerima hukuman, baik hukum positif maupun
adat. Mereka tidak dapat berbuat banyak melihat hal itu. Selain menjadi
penonton yang baik mereka lebih banyak diam, karena keterbatasan
pengetahuan. Sementara aparat yang seharusnya menjadi pelindung bagi
justeru ikut-ikutan menjarah hasil penebangan liar tersebut. Padahal
selama ini, jika manusia Dayak memang harus melakukan penebangan kayu
untuk membuka lahan atau dijadikan bahan baku membuat rumah, sebelumnya
melakukan suatu upacara adat dengan berbagai sesaji.
Itu sebabnya saat terjadi kerusakan hutan yang parah di Kalimantan,
manusia Dayak sangat gelisah dan tiada henti memprotes. Salah satu
protes itu berbentuk pernyataan bersama menolak perusakan hutan.
Misalnya protes yang dilancarkan Forum Kampung Dayak Punan Hulu Kelay
yang terdiri dari Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long
Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu Kabupaten Berau. Mereka
memberikan pernyataan:
Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat,
binatang buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah
tempat hidup dan sumber kehidupan kami dan kami harus menjaganya untuk
memastikan sumber-sumber alam tersebut, akan
terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:
terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:
1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan
menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali
dilakukan secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh
manusia tua kami secara turun-temurun.
2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan.
3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas
5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita.
2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan.
3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas
5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita.
Pernyataan ini adalah pesan serius dari kalangan komunitas Dayak yang
selama ini dipandang rendah, hina, dibodoh-bodohkan dan dianggap
sebagai “suku terasing” atau “primitif.” Jika kita memahami budaya
Dayak, maka kebangkitan untuk tidak diam melihat kerusakan lingkungan
ini bisa digambarkan bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah
muncul ke permukaan dan menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya.
Dalam khasanah Budaya Dayak, manusia harus meyakini adanya konsep
hidup-mati: “RENGAN TINGANG NYANAK JATA” (anak enggang, putera-puteri
naga), yang dilambangkan oleh enggang dan naga (jata) di seluruh pulau
Kalimantan, bukanlah manusia agresif. Tapi jika berkali-kali diagresi
dalam berbagai bentuk, mereka akan melakukan perlawanan “ISEN MULANG”
yang artinya “takkan pulang kalau tak menang”. Secara fisik terbaca
pada “lahap” (pekikan perang) atau “lawung bahandang” (ikat kepala
merah) dan “mangkok merah”.
Aksi Dayak ini hanya dilakukan jika mereka sampai pada batas
kesabaran, apabila bumi dan mereka terus dirusak, apabila “sumpah potong
rotan” dan upacara sejenis sudah dilakukan dan terus-menerus dilanggar.
Padahal sejatinya, manusia Dayak termasuk manusia pendiam dan banyak
bicara dengan bahasa isyarat, tatapan mata dan pengamatan serta
mencermati kata oleh adanya tradisi mantera yang kuat di kalangan
komunitas mereka. Mantera adalah satunya kata dan tindakan, keyakinan
pada makna kata.
Manusia Dayak mengenal zat tertinggi yang menciptakan dunia dan
segala isinya. Itu tersirat dalam adat, mitos-mitos tentang kejadian
alam semesta dan manusia yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan
antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan
sekitarnya. Keyakinan terhadap zat tertinggi atau Tuhan itu tersurat
dalam keyakinan mereka terhadap adanya dunia batin (inner world) yang
memiliki kekuatan magis yang mengendalikan alam semesta. Berbagai
nama-nama pengetahuan batin manusia Dayak tersebut diantaranya:
Parang-maya, Pipit Berunai, Tumbak Gahan, Awoh, Kiwang, Kibang,
Pakihang, Panikam Jantung, dan Petak Malai, dan Pantak.
Dalam mitologinya, manusia Dayak mengenal empat tingkatan dewa-dewa sebagai kekuatan alam yang tinggi. Mereka adalah:
(1) NEK PANITAH. Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama
istrinya yang bernama Nek Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne’ Duniang
bernama Baruakng Kulub. Panitah = perintah.
(2) JUBATA. Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak.
Tiap sungai, gunung, hutan, bukit mempunyai jubata. Yang terpenting
adalah jubata dari bukit bawakng. Apa’ Manto Ari adalah raja dari bukit
bawakng.
(3) KAMANG. Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang dayak. Ia
berpakaian cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama (
tangkulas ). Ini juga pakaian dari pengayau kalau mereka pulang dengan
membawa hasil. Kamang pandai melihat, mencium bau dan makanannya darah.
Ini terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras
kuning untuk jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu
adalah adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7
bersaudara adalah Bujakng Nyangko ( yang tertua ) tinggal dibukit
samabue, Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh,
Buluh Layu’ dan Kamang Bungsu ( dari Santulangan ). Bujakng Nyangko
adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan
terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh
Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu
itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah
pelindung dari para pengayau.
(4) ANTU. Jumlah antu ( hantu ) banyak sekali. Dalam arti tertentu,
mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu selalu menyebabkan penyakit
pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit
pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi dan antu serah
menyebabkan banyak tikus makan padi diladang.
Kepercayaan pada 4 tingkat makhluk supranatural inilah yang melahirkan asas-asas kehidupan mereka, yakni:
(1) PAMA. Pama artinya kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya
dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka
mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan
jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak
yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari
bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran
seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup.
(2) JIWA. Orang Dayak mengenal ada 7 jiwa. Yaitu :
NYAWA. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal.
SUMANGAT. Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga
binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa
persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil kembali sumangat
manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan semua milik rumah.
Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah
suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh ketakutan, sesudah
memandikan anak kecil ( bahaya sumangat anak hilang bersama dengan air
). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara
sederhana untuk memanggil sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat. Mimpi
disebabkan oleh sumangat, karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut
nama seseorang, sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan
bertemu dengan semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam
badan. Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun baliatn lewat
telinga kiri. Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi
pidara, tetapi pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan
pantak pergi ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang.
AYU. Tempat ayu ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu
dikembalikan dipermulaan punggung ( ka’ pungka’ balikakng ), dibawah
leher. Ayu melindungi manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan
oleh kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang
disebebkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “ lapas ayu “ atau rongko’
(sakit ayu ). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap
tinggal bersama dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu.
Ayu juga disebut hantu.
SUKAT. Dalam doa selalu dikatakan “ sukat nang panyakng satingi diri’
“ artinya sukat yang panjang setinggi kami sendiri. Pertama sukat
menunjuk kepada satu bagian dari badan manusia, mulai dari atas kepala
lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan
sukat.
BOHOL. Bohol bersifat anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke
pusat atau lebih khusus tempat dibawah tulang dada yang berdenyut.
Kurang bohol atau bohol yang tidak lurus adalah sala satu sebab
penyakit. “ kakurangan sukat nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng “
demikian dukun menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena
kekurangan bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wnaita yang
sulit beranak dikatakan “ mereng bohol anak “ artinya bohol anak bayi
miring. Dukun baliatn pandai mencari bohol yang hilang.
LEO BANGKULE. Leo Bangkule berarti jantung, hati, paru-paru atau
semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo bangkule sering diundang
kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau
tali danatn atau tali dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran
pencernaan.
NENET SANJADI. Nenet Sanjadi disebut juga saluran pernafasan ( tali
sengat ), permulaan dari tali mulai dari karukok (kerongkongan ).
Manusia dayak memegang 5 prinsip kehidupan yang ditetapkan
berdasarkan adat, yaitu: HIDUP HARUS TOLONG MENOLONG, HARUS HIDUP
MEMPERTAHANKAN KEAMANAN RAKYAT DAN DESA, TIDAK BOLEH HIDUP TIPU-MENIPU,
HARUS JUJUR DAN ADIL, DAN HARUS HIDUP SETALI SEDARAH. Bagi pelanggar 5
sumpah adat ini, maka akan diberlakukan Hukuman adat bagi manusia
Secara ringkas, Manusia Dayak yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam
kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang
berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara
lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urang mati, dan Jubata (Tuhan).
Kedua alam kehidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh manusia
adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga
keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya, serta
untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik
sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta
penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para
leluhur mereka telah menyusun secara arif dan bijaksana
ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan
pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari
generasi ke generasi sampai kini.
Manusia Dayak dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari
praktek religius tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya,
terutama dalam interaksinya dengan alam lingkungannya. mereka percaya
bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam
kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi
juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini.
Hal ini dapat dilihat dari doa dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):
“BUKOTNNYO UNANG I-MANTABOK I-MAROMPOKNG ADAT ATURAN ANYIAN, IO
INURUNAN AMPET I NE’ UNTE’ I KAIMANTOTN, NE’ ANCINO I TANYUKNG BUNGO,
NE’ SARUKNG I SAMPURO, NE’ RAPEK I SAMPERO’, NE’ SAI I SABAKO’, NE’
RAMOTN I SAA’U, NE’ RANYOH I GANTEKNG SIOKNG. ANGKOWOLAH ANGKENYO KAMI
ANAK PARUCU’E MAKE IO DAH TINGOR-KAMANINGOR, DAH PAHIYAK DAH GOEHOTN
KAMI IHANE.”
Bukanlah adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia
diturunkan oleh mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang
tingggal di kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari etnis cina) di
Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai
Sapero’, Nek Sai di bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh
di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya yang diwarisi
dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami.
Dalam adat terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur
korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang
non-manusia dalam sistem kehidupan ini. Ajaran tentang adat (etika)
lingkungan hidup yang mengatur korelasi antara manusia dengan alam ini
didasarkan pada pandangan dunia yang termuat dalam mitos-mitosnya.
Manusia Dayak memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk
kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para
Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di
Subayotn. Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang
unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia yang
saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan
hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan
seimbang dengan unsur-unsur lain yang bukan manusia. Hubungan yang
harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan dibangun oleh manusia
melalui praktik-praktik religi.
Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya,
udara, air, dan zat lainnya dalam dirinya. Manusia merupakan
mikrokosmos (bagian dari dalam sistem alam semesta (kosmos) ini dan
setiap unsur dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai dan fungsinya
yang saling mendukung dalam satu kesatuan yang harmonis dan seimbang.
Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda
yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui
praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya. Beberapa
contoh bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang
berkolerasi dalam misalnya, kematian dipahami sebagai peristiwa
kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (taino) serta
sengat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn.
Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada
mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari sejenis mahluk alam yang
disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar
beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00
hingga 12.00. Tanda ini diartikan bahwa hantu telah memotong-motong
badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu bahwa dalam beberapa
hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.
Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang terakhir (NGOOH),
pada malam sebelumnya suara riuh rendah dari mahluk malam di rimba
terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa dialami oleh mereka
yang menunggu durian atau berburu pada malam hari (NERENG). Orang
menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut kedatangan manusia
yang akan menyatu kembali dengannya. Tidak ada kebiasaan membersihkan
dan menyembahyangi dalam kehidupanmasyarakat Dayak. Pohon-pohon dan
semak dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan. Masyarakat takut untuk
membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan
menyakitinya.
Jenasah itu dikubur tanpa nisan. Rangkaian peristiwa kematian yang
dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak berkesimpulan bahwa
MANUSIA ITU BETUL-BETUL TELAH KEMBALI DAN MENYATU DENGAN ALAM KARENA DIA
SESUNGGUHNYA BERASAL DARI ALAM. MANUSIA YANG SUDAH MOMO’ (MENINGGAL
DUNIA) ITU SESUNGGUHNYA TELAH KEMBALI KE BINUO (TEMPAT) ASALNYA.
Selain menjalin keakraban kepada makhluk lain yang tidak terlihat,
Manusia juga perlu menjalin kerjasama erat dengan binatang sebagai
sesama adalah mahluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itu ada salah satu suku
dayak yaitu Suku Dayak Ngaju menempatkan binatang pada tempat yang
istimewa, antara lain:
a. Burung Tingang merupakan lambang kemasyuran dan keagungan.
b. Burung Antang (Elang) merupakan lambang keberanian, kecerdikan serta kemampuan memberikan petunjuk peruntungan baik buruk. Dalam acara ritual “menenung” atau acara “menajah antang” untuk mengetahui “Dahiang-Baya”, maka burung Antang digunakan sebagai mediator.
c. Burung Bakaka diyakini memberikan petunjuk bagi pencari ikan apakah memperoleh banyak ikan atau tidak. Demikian juga burung perintis.
d. Burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dianggap sebagai burung milik dewa. Memperlakukan burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dengan semena-mena dapat membawa malapetaka.
e. Burung Tabalului, Kangkamiak dan kulang-kulit sebagai kelompok burung hantu diyakini sebagai burung iblis.
f. Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak alam lagi permukaan air sungai akan meluap atau terjadi banjir.
g. Tambun (ular besar / ular naga) melambangkan kearifan, kebijakan sarana, dan kekuatan.
h. Buaya sering dianggap sebagai penjelma mahluk alam bawah (jata).
i. Angui (Bunglon) diyakini sebagai perwujudan saudara Ranying Hatala Langit yang bungsu.
a. Burung Tingang merupakan lambang kemasyuran dan keagungan.
b. Burung Antang (Elang) merupakan lambang keberanian, kecerdikan serta kemampuan memberikan petunjuk peruntungan baik buruk. Dalam acara ritual “menenung” atau acara “menajah antang” untuk mengetahui “Dahiang-Baya”, maka burung Antang digunakan sebagai mediator.
c. Burung Bakaka diyakini memberikan petunjuk bagi pencari ikan apakah memperoleh banyak ikan atau tidak. Demikian juga burung perintis.
d. Burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dianggap sebagai burung milik dewa. Memperlakukan burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dengan semena-mena dapat membawa malapetaka.
e. Burung Tabalului, Kangkamiak dan kulang-kulit sebagai kelompok burung hantu diyakini sebagai burung iblis.
f. Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak alam lagi permukaan air sungai akan meluap atau terjadi banjir.
g. Tambun (ular besar / ular naga) melambangkan kearifan, kebijakan sarana, dan kekuatan.
h. Buaya sering dianggap sebagai penjelma mahluk alam bawah (jata).
i. Angui (Bunglon) diyakini sebagai perwujudan saudara Ranying Hatala Langit yang bungsu.
Meskipun binatang adalah mahluk ciptaan Tuhan dengan derajad yang
lebih rendah dari pada manusia, namun manusia harus tetap menjaga
keseimbangan populasinya agar supaya keseimbangan alam tetap
terpelihara.
Dalam kehidupan Masyarakat Dayak, adat melarang siapapun
menganiaya binatang. Sebaliknya adat juga melarang manusia mempunyai
hubungan yang lebih dengan binatang atau disetubuhi oleh binatang.
Apabila hal itu terjadi maka orang tersebut merupakan manusia terkutuk.